Masing-masing kategori ini mencakup pula kesulitan-kesulitan lain yang lebih spesifik, yang akan disampaikan sebagai berikut:
1) Kesulitan Berbicara dan Berbahasa
Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa sering menjadi indikasi awal kesulitan belajar yang dialami anak. Anak yang mengalami kesulitan jenis ini menemui kesulitan dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa yang tepat, berkomunikasi dengan orang lain dengan penggunaan bahasa yang benar, atau memahami apa yang orang lain katakan.
Ciri-ciri spesifik kesulitan berbicara dan berbahasa ini, antara lain:
a. Keterlambatan pengucapkan bunyi bahasa. Anak-anak yang mengalami gangguan ini biasanya mengalami masalah dalam mengucapkan sesuatu dengan tepat. Sebagai contoh, pada umur 6 tahun, masih mengucapkan kata “wabbi” yang seharusnya bunyi “rabbi”. Keterlambatan perkembangan pengucapan sebenarnya merupakan sesuatu yang umum terjadi, dan 10% anak di bawah usia 8 tahun kerap mengalami kesulitan ini. Kesulitan model ini dapat diatasi dengan terapi wicara.
b. Keterlambatan mengespresikan pikiran atau gagasan melalui bahasa yang baik dan benar. Anak yang menderita kesulitan berbahasa biasanya mengalami kesulitan dalam mengakses dirinya pada saat berbicara. Kesulitan semacam ini disebut juga sebagai keterlambatan kemampuan untuk berbahasa dengan baik dan benar. Anak yang sering menyebut nama benda dengan sebutan yang salah, adalah contoh anak yang mengalami permasalahan semacam ini. Tetapi tentu saja ganguan perkembangan berbahasa ini dapat timbul dalam wujud lain. Sebagai contoh, seseorang anak berumur 4 tahun yang hanya dapat mengucapkan dua frasa saja atau tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana, dapat pula digolongkan sebagai anak yang mengalami kesulitan berbahasa.
c. Keterlambatan pemahaman bahasa. Sebagian anak menemui kendala dalam mencerna apa yang diucapkan orang lain. Kendala ini terjadi ketika otak mereka berada di frekuensi yang berbeda, dan sistem penerimanya sedang tidak berfungsi atau lemah. Contoh, anak kecil yang tidak dapat merespon ketika namanya dipanggil, melakukan pekerjaan yang berulang-ulang atau tidak sanggup mengerjakan tugas-tugas sederhana. Pendengaran mereka normal, tetapi tidak dapat memberikan respon yang baik dan benar terhadap suara, kata-kata, atau kalimat yang didengar. Mereka tampak tidak memperhatikan apa yang orang lain katakan atau bicarakan pada mereka. Anak-anak dengan kategori ini menderita keterlambatan pemahaman bahasa. Tentu saja untuk anak usia pra-sekolah pengucapan beberapa bunyi, kata-kata, tata bahasa yang salah, masih dapat dipandang wajar sebagai bagian dari proses belajar berbicara.
2) Gangguan Kemampuan Akademik
Peserta didik atau anak dapat didiagnosis mengalami gangguan ini, jika mengalami ciri-ciri berikut:
a. Keterlambatan Membaca
Tipe gangguan ini disebut juga dengan disleksia. Pada kenyataanya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8% anak sekolah dasar. Ketika berpikir tentang apa saja yang terlibat dalam proses “tiga R” membaca (read-ing), menulis (riting), dan berhitung (rithmetic) maka setiap individu akan tercengang, karena kebanyakan darinya memang memelajari proses-proses tersebut. Untuk memahami apa yang dibaca, maka harus:
1) Memusatkan perhatian pada huruf-huruf yang tertulis dan mengendalikan gerakan mata dengan menjelajahi tiap halaman.
2) Mengenali bunyi tiap-tiap huruf atau gabungan huruf
3) Memahami makna kata-kata, tata bahasa, dan susunan kalimatnya.
4) Membandingkan ide-ide dan gagasan baris
5) Membandingkan ide-ide baru dengan yang telah individu ketahui.
6) Mengingat berbagai hal dalam benak individu.
Proses mental semacam ini memerlukan interaksi intensif diantara berbagai sel saraf sebagai penghubung bagian-bagian otak yang berkaitan dengan fungsi penglihatan, berbahasa dan mengingat. Siapapun dapat mengalami kendala dalam memahami sebuah bacaan. Para ahli berpendapat, penderita diseleksia mengalami ketidakmampuan dalam membedakan memisahkan bunyi dari kata-kata yang diucapkan. Di sisi lain, anak dengan disleksia memiliki kesulitan dalam permainan mengucapkan bunyi-bunyi yang mirip, seperti salah mengucapkan “car” dengan “rar”. Belakangan para ilmuan mendapati bahwa kemampuan mendasar ini berguna dalam proses belajar membaca. Meskipun demikian, lebih sulit membaca daripada mengenali kata-kata. Jika otak tidak mampu menghubungkan ide-ide yang baru diterima dengan yang telah tersimpan dalam ingatan, maka pembaca tidak mampu memahami atau mengingat konsep yang baru. Jadi, dalam tingkatan yang lebih tinggi, kesulitan memahami bacaan dapat beralih dari sekedar mengenali kata-kata menuju pada pemahaman susunan kata-kata dalam sebuah kalimat yang lengkap. Individu yang menderita gangguan membaca mungkin akan segera melupakan kata-kata yang baru saja dibacanya, sehingga akhirnya ia tidak dapat memahami apa yang hendak diungkapkan kalimat tersebut.
Substansinya, anak yang mengidap keterlambatan kemampuan membaca, mengalami kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata, misalnya huruf atau suara yang seharusnya tidak diucapkan, sisipan, penggantian atau kebalikan) atau memahaminya. Misalnya, memahami fakta-fakta dasar, gagasan utama, urutan kronologis, atau topik sebuah bacaan. Mereka juga mengalami kesulitan lain, seperti cepat melupakan apa yang telah dibacanya. Sebagian ahli berargumen bahwa kesulitan mengenali bunyi-bunyi bahasa (fonem) merupakan dasar bagi keterlambatan kemampuan membaca, yang penting sekali bagi pemahaman hubungan antara bunyi bahasa dan tulisan yang mewakilinya (Torgesen & Wagner, 2008). Kesulitan membaca mempengaruhi segala aspek kehidupan penderitanya sejak awal masuk sekolah, yakni ketika ia mulai belajar membaca, hingga bertahun-tahun kemudian tatkala sang anak diharuskan memabca guna mempelajari sesuatu yang lebih spesifik. Lebih jauh lagi, masalah ini masih ada tatkala seseorang kelak harus hidup di tengah tengah masyarakat, rumah, dan tempat kerja di mana di tuntut untuk mengerti dan memahami informasi.
b. Keterlambatan Menulis
Menulis juga memerlukan koordinasi berbagai bagian dan funsi otak. Bagian-bagian otak yang mengatur perbendaharaan kata, tata bahasa, gerakan tangan, dan ingatan harus berada dalam kondisi serta koordinasi yang baik. Permasalahan dalam hal ini dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan menulis anak (disgrafia). Contoh, anak yang tidak mampu membedakan berbagai bunyi, bisa dipastikan memiliki masalah dalam mengeja kata-kata. Anak yang memiliki kesulitan dalam membaca dan mengespresikan gagasan atau ide dalam bentuk bahasa yang baik dan benar, kemungkinan besar akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang lengkap dan benar.
Masalah yang dihadapi anak atau siswa dengan keterlambatan menulis tampak dari tulisan tangan, kemampuan mengeja, susunan kata, penggunaan kosakata, kualitas tulisan yang dihasilkan, dan penyusunan karangan. Banyak penderita yang mengalami kesulitan atau keterlambatan menulis juga memiliki kesulitan dalam hal membaca, karena keduanya berkaitan dengan bahasa (penerimaan dan pengekspresian). Kesulitan dalam hal menulis memengaruhi perkembangan murid dalam banyak hal. Misalnya, siswa yang mengalami kesulitan dalam hal menulis kemungkinan bisa memahami konsep pelajaran ilmu pengetahuan dan sosial, namun mereka tidak mampu mengekspresikan pemahaman mereka dalam bentuk tulisan atau pada saat membuat laporan lapangan.
c. Keterlambatan Berhitung
Berhitung melibatkan pengenalan angka-angka, pemahaman berbagai simbol matematis, mengingat berbagai fakta seperti tabel perkalian, dan pemahaman konsep-konsep abstrak seperti nilai tempat serta pecahan. Hal seperti ini mungkin terasa sulit, bagi anak-anak penderita kesulatan berhitung (diskalkulia). Masalah diskalkulia bisa timbul dalam wujud kesulitan membedakan angka, simbol-simbol, serta bangun-bangun ruang (kemampuan persepsi visual yang buruk), tidak sanggup mengingat dalil-dalil matematis (ingatan yang buruk), menulis angka yang tidak terbaca atau dalam ukuran kecil (kelemahan fungsi motorik), dan tidak memahami makna simbol-simbol matematis (pemahaman yang lemah terhadap istilah-istilah matematis). Bentuk kelemahan lainnya, meliputi lemahnya kemampuan berpikir abstrak (memecahkan soal-soal dan melakukan perbandingan) serta metakognisi (mengidentifikasi serta memanfaatkan algoritma dalam memecahkan soal-soal matematika). Banyak aspek dari berbicara, mendengar, menulis, dan berhitung untuk saling tumpang tindih berdasarkan fungsi otak. Jadi, tidaklah aneh bila ada orang yang didiagnosis mengalami lebih dari satu kesulitan belajar.
3) Gangguan Belajar Lainnya
DSM (Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorders), mencatat kategori tambahan, seperti “gangguan kemampuan motorik, memori, dan kognisi” dan “gangguan perkembangan khusus yang belum diklasifikasikan”. Gejala-gejala ini juga mencangkup gangguan koordinasi tubuh, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan buruknya tulisan seseorang, dan begitu pula halnya dengan kesulitan menjaga serta mengingat.
a. Gangguan Memori
Penderita dismemori dicirikan mengalami kelemahan dalam hal mengingat atau mengalami kesulitan dalam mengingat dan mengolah informasi, sehingga dapat disimpan dalam memori jangka panjang. Sebagai contoh, siswa penderita keterlambatan memori akan belajar dengan menatap buku catatan atau membaca daftar kata-kata sukar terus-menerus, di mana hal ini merupakan strategi belajar yang kurang efektif. Akibatnya, kesulitan dalam pengingat juga akan berpengaruk pada memori jangka panjang anak, ketika harus menemukan serta mengingat suatu hal dalam waktu singkat.
b. Gangguan Metakognisi
Penderita gangguan metakognisi, yakni terganggunya kesadaran tentang bagaimana individu berpikir serta memantau apa yang dipikirkannya. Hasil riset menyatakan bahwa penderita dismetakognisi tidak mengetahui strategi kognitif efektif dalam menerima, mengolah, menyimpan, serta memahami suatu informasi. Kelemahan dalam bidang ini pada akhirnya akan memengaruhi kemampuan mereka untuk menerapkan suatu strategi dalam tempat serta waktu yang tepat (Mercer, 2007).
c. Kesulitan Memusatkan Perhatian
Hampir dari 4 juta anak sekolah dasar menederita kesulitan belajar. Berdasarkan data yang ada, 20% dari mereka mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Anak-anak atau orang dewasa yang menderita kesulitan dalam memusatkan perhatian biasanya gemar melakukan aktivitas secara berlebihan. Kendati demikian, saat mereka berhasil memusatkan perhatian itu dengan mudah hilang kembali (temporal). Hal ini dialami oleh anak yang cenderung hidup dalam dunianya sendiri. Anak-anak dengan kesulitan memusatkan perhatian (ADHD) mengalami beberapa jenis kesulitan. Jika anak-anak dengan kategori ini memiliki kepribadian pendiam akan menjadi penyebab mengapa gangguan pada mereka kerap tidak terdeteksi. Pada penderita gangguan semacam ini mungkin dapat terus naik kelas, tanpa perlu mendapat bimbingan khusus.
Penderita ADHD (Attention Devicit Hiperactivity Disorder), sebagian besar diderita anak laki-laki, gangguan perhatian sering diikuti dengan sikap hiperaktif. Seorang anak yang mengalami permasalahan dalam memusatkan perhatian, pada saat bersamaan juga bertingkah laku hiperaktif. Anak-anak semacam ini gemar berprilaku sesuai hati mereka, berlari-lari di jalan raya atau berdiri di atas meja. Seperti halnya anak, yang melompat-lompat di atas sofa hingga hampir pingsan kehausan, maka anak-anak hiperaktif tidak sanggup hidup tenang. Mereka berteriak-teriak dan memotong pembicaraan. Dalam bermain, mereka tidak sanggup menunggu giliran. Apa yang dialami anak-anak seperti ini amatlah sulit untuk diabaikan begitu saja. Karena adanya ledakan energi ini, anak-anak hiperaktif sering bermasalah dengan orangtua, guru dan teman-temanya.
Dalam diri orang dewasa, sikap hiperaktif sering tampak dalam wujud kegugupan dan kegelisahan. Namun, masalah yang berkaitan dengan perhatian dan konsentrasi ini terus berlanjut. Di tempat kerja orang dewasa penderita ADHD sering mengalami masalah berkaitan dengan penyusunan tugas dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka seolah-olah tidak mendengarkan atau tidak bersedia mengikuti pengarahan, pekerjaan mereka terlihat kacau dan terbengkalai. Kesulitan dalam memusatkan perhatian, baik yang disertai sikap hiperaktif atau tidak, tidak dianggap sebagai kesulitan belajar. Kendati demikian, kesulitan dalam memusatkan perhatian dapat mengaruhi performa akademis anak secara serius, dimana gangguan ini kerap menyertai kelemahan dalam kemampuan akademis.