Wednesday, December 7, 2016

Sekolah Inklusi adalah Model Pendidikan untuk Semua (II)

Latar Belakang
Tekanan untuk meneruskan dan memperluas program kelas khusus menjadi hal yang sangat penting saat ini. Pemindahan anak dari kelas reguler ke kelas khusus, memungkinkan memberikan pengaruh signifikan bagi anak, terutama untuk perasaan rendah diri dan problem penerimaan diri (Dunn dalam Smith 2009).
ELias & Maurice (dalam Barokah 2011), menyatakan bahwa:
Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan seakan membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan, yang secara psikologis sangat merugikan peserta didik dalam bersosialisasi, yang mestinya dalam peletakan dasar pembelajaran harus diberikan dengan suguhan-suguhan menyeluruh tentang kehidupan nyata, bahwa di sekeliling kehidupannya ada kehidupan yang berbeda dari dirinya, namun kenyataan yang sering ditemukan dalam dunia pendidikan hanyalah keterbatasan-keterbatasan yang tidak mampu memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan peserta didik khususnya dalam menuju kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran peserta didik adalah masa untuk belajar menjadi orang dewasa bukan remaja yang sukses.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu, negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat (1). Tetapi faktanya, sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan fisik dan mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas kondisi ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas kehidupan dalam masyarakat. 

Perhatian pemerintah tentang pentingnya pendidikan inklusif, kemudian ditunjukkan dengan menerbitkan surat persetujuan tentang perlunya merancang sistem pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (Tarsidi, 2007). Keberhasilan tersebut telah mendorong penertiban Surat Keputusan Menteri Pendidikan No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayang, dalam praktiknya pendidikan integrasi kurang mendapat perhatian dan minim implementasi, terutama di jenjang SD. Akhir 1990-an, kemudian upaya baru dihadirkan untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerja sama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia, di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB.

Robert (2007), menyebutkan pendidikan inklusi adalah Hak Asasi Manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak memiliki kesamaan dalam aspek belajar terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing. 

Alasan-alasan lain yang mendasari pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik, diantaranya: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam setting inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah atau khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif. 

Dasar Pelaksanaan 
Suparno, dkk (2012) mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi, didasarkan pada beberapa landasan filosofis dan yuridis-empiris. 
1. Dasar Filosofis 
Secara filosofis, implementasi sekolah inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya: (1) pendidikan adalah mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus; (2) anak adalah pribadi unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda; (3) penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah; (4) setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak; (5) setiap anak berhak mendapat akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya.

Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusif paling tidak dilandasi tiga aspek, yaitu: (1) hambatan dipandang dari lingkungan sekolah,  lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik; (2) perspektif holistik dalam memandang peserta didik, setiap peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang; dan (3) prinsip non-segresi, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003). 

2. Dasar Yuridis-Empiris 
Dasar sekolah inklusi secara yuridis-empiris tercantum dalam beberapa kebijakan berikut:
1. UUSPN No. 20 Tahun 2003, pasal 5 ayat (1) dan (2)
Ayat 1: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu".
Ayat 2: "Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus".

2. UUSPN No. 20 Tahun 2003 pasal 6 ayat 15 yang berbunyi:
"Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah".

3. UUD 1945 pasal 31 ayat (1), (2) dan (3)
Ayat 1: "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan"
Ayat 2: "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah dan pemerintah wajib membiayainya".

4. Permen No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 
"Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai lulusan kompetensi minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu".

5. Permen No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
6. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Tahun 1948 
7. Konvensi PBB tentang Hak Anak, Tahun 1989
8. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (Jomtien), Tahun 1990
9. Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, Tahun 1993.
10. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, Tahun 1994.
11. Tinjauan 5 Tahun Salamanca, Tahun 1999
12. Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar), Tahun 2000
13. Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan, Tahun 2000.
14. Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan, Tahun 2001
15. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), pasal 32.
16. Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.